Di Balik Minimnya Murid SMA yang Bercita-cita Menjadi Guru

tirto.id – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengadakan tes angket kepada 512.500 siswa SMA/MA di 8.549 sekolah, yang menjadi peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019. Tujuan angket untuk mengkaji informasi non-kognitif peserta didik, salah satunya mengetahui cita-cita mereka di kemudian hari. Dari hasil angket yang dipaparkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud, Totok Suprayitno menyebutkan, 89 persen siswa bercita-cita untuk menjadi pengusaha dalam berbagai sektor. Sementara sisanya, sebanyak 11 persen dengan mayoritas perempuan, bercita-cita menjadi guru. Totok mengatakan, dari 11 persen peserta didik yang bercita-cita menjadi guru, sayangnya tergolong peserta dengan nilai UNBK yang tidak maksimal, berbanding terbalik dengan yang tidak ingin menjadi guru. “Nilai Bahasa Indonesianya lumayan, Bahasa Inggrisnya lumayan, tapi masih di bawah 50,00 [dari skala 70,00], Matematikanya not so lumayan. Jadi intinya, yang mau menjadi guru adalah not the best dari siswa itu,” kata Totok, di kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu (8/5/2019). Padahal, Totok berharap, siswa terbaik dari yang terbaik yang mampu dan mau menjadi guru. Sebab, kata dia, guru merupakan gerbang utama dari terwujudnya masyarakat yang berkualitas. “Mencerdaskan bangsa memang dilakukan oleh orang-orang yang terbaik. Kemendikbud seharusnya banyak kampanye nanti, agar daya tarik menjadi guru tidak kurang,” kata Totok. Sebaliknya, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim justru memaklumi hasil angket siswa yang minat ingin menjadi guru minim. Sebab, untuk berprofesi sebagai guru profesional peluangnya masih kecil. Belum lagi, pemerintah hanya memanfaatkan guru honorer dengan bayaran murah. “11 persen itu pun sebenarnya sudah lumayan besar, harusnya di bawah 10 persen,” kata Ramli saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (8/5/2019). Ramli mengatakan, profesi guru memang sempat ramai peminatnya sekitar 2006 hingga 2010. Peminat program studi pendidikan matematika, kata dia, bahkan pernah sejajar dengan program studi kedokteran. “Minat menjadi guru tinggi karena saat itu ada UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menaikkan status guru menjadi profesi dan diberi penghargaan berupa tunjangan profesi guru (TPG),” kata dia. Karena itu, kata Ramli, agar minat menjadi guru semakin besar, ia mengimbau pemerintah untuk dapat mencukupkan kebutuhan guru, serta menghapus sistem honorer di sekolah dan mengandalkan guru PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) saja.

Baca selengkapnya di artikel “Di Balik Minimnya Murid SMA yang Bercita-cita Menjadi Guru”, https://tirto.id/duZi